MEMUAT BARANG...

Indonesia membangun rantai pasokan mineral ramah lingkungan global

印尼打造全球绿色矿产供应链

Smelter telah menjadi teater geopolitik baru dalam lanskap energi global dalam transisi menuju rendah karbon.Perebutan pengaruh yang dulunya berkisar pada minyak dan selat-selat strategis telah bergeser menjadi kontrol atas proses pemurnian mineral-mineral utama seperti nikel, kobalt, dan litium, yang merupakan bahan baku utama untuk mobil listrik, panel surya, dan lain-lain. Negara-negara yang memiliki kendali atas pemrosesan hilir dapat mengendalikan harga, pasokan, menetapkan standar lingkungan, dan mengambil posisi strategis dalam negosiasi internasional.Tiongkok mendominasi dinamika persaingan rantai pasokan mineral global melalui strategi konsolidasi, menambang kobalt di Kongo dan litium di Chili, serta membangun pusat-pusat pengolahan yang besar, yang didukung oleh pembiayaan pemerintah yang murah dan subsidi teknologi.Saat ini menguasai lebih dari 70% pasokan nikel kelas baterai dunia, 80% kobalt sulfat, dan hampir semua grafit sintetis, sehingga memiliki pengaruh besar dalam penetapan harga mineral global dan penetapan standar mineral ramah lingkungan. AS mendorong pengaturan ulang rantai pasokan melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi, yang mengharuskan komponen kendaraan listrik diproses di wilayah tertentu atau negara mitra agar memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi; Uni Eropa mengesahkanUndang-Undang Bahan Baku Kritis", menetapkan target pengolahan domestik sebesar 40% pada tahun 2030 sambil membatasi ketergantungan pada satu negara hingga 65%; Jepang, Korea Selatan, Australia, dan negara lainnya juga secara aktif menjalin kemitraan baru dengan produsen sumber daya di belahan bumi selatan. Indonesia telah membangun lebih dari 50 fasilitas pemurnian (misalnya RKEF dan HPAL) sejak diberlakukannya larangan ekspor nikel pada tahun 2020 (meskipun hal ini ditentang oleh WTO). Ekspor nikel olahan telah melonjak dari $ 2 miliar menjadi $ 34 miliar dalam lima tahun, dan kawasan industri seperti Morowali dan Teluk Wetar telah menjadi simbol keberhasilan industri hilir dalam negeri, menciptakan lebih dari 200.000 lapangan kerja serta mendorong pengembangan logistik, keuangan, dan industri pendukung lainnya. Namun, proyek-proyek tersebut didominasi oleh investor Tiongkok, membuat Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal; banyak smelter bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara, dan produk mereka mungkin menghadapi pajak karbon atau pembatasan akses pasar hijau Uni Eropa; dan sebagian besar produksi terhenti pada tahap peralihan seperti besi-nikel, dan belum ditingkatkan menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi seperti katoda atau sel baterai.

Untuk mencapai tujuan ini, Indonesia telah menerapkan pajak karbon progresif berdasarkan intensitas emisi untuk mendorong transisi ke sumber energi yang lebih bersih seperti tenaga air dan tenaga surya; menetapkan Indeks Mineral Indonesia sebagai referensi harga domestik yang transparan dan adil untuk mencegah praktik harga transfer; bergabung dengan bank pembangunan multilateral untuk menginvestasikan dana untuk transisi energi dalam penelitian dan pengembangan teknologi pemurnian ramah lingkungan serta pembangunan jaringan transmisi tenaga listrik di kawasan industri; dan mendirikan pusat keunggulan di bidang hidrometalurgi untuk mengembangkan teknologi pemisahan logam yang lebih efisien dan ramah lingkungan. teknologi pemisahan logam dan menciptakan formulasi reagen atau katalis dalam negeri yang tidak dapat direplikasi dengan mudah sebagai aset strategis untuk diplomasi ekonomi di masa depan; memperkuat diplomasi mineral dengan meluncurkan forum Koridor Mineral Kritis Samudra Hindia, yang akan menyatukan Tanzania, Mozambik, India, dan Australia Barat untuk menyelaraskan standar logistik, sertifikasi berkelanjutan, dan lintas batasPembiayaan Rantai Pasokanmemimpin koalisi negara-negara penghasil mineral di bawah kerangka kerja ASEAN dan G20, menegosiasikan akses pasar, teknologi bersih, dan pembiayaan untuk transisi hijau yang didasarkan pada mineral-mineral utama. Inisiatif-inisiatif kebijakan tersebut memiliki dasar konstitusional yang kuat, dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimiliki oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; rancangan undang-undang pertambangan mineral dan batu bara yang menekankan pada kewajiban industri hilir dan pelarangan ekspor mineral mentah; serta peraturan pemerintah mengenai pengelolaan mineral dan keputusan presiden mengenai insentif bagi industri strategis yang semakin mempertegas arah transisi tersebut. Smelter bukan hanya alat untuk memproses logam, tetapi juga simbol kontrol atas masa depan energi dunia. Dengan cadangan mineral, lokasi geografis yang strategis, dan rekam jejak pengembangan industri hilir, Indonesia, yang bekerja sama dengan pemerintah, sektor swasta, dan lembaga penelitian, memiliki potensi untuk mengubah dirinya dari sekadar pemasok menjadi pemain dalam masa depan ekonomi hijau global, dengan tujuan untuk menentukan harga, menetapkan standar, dan menyusun ulang aturan rantai pasokan hijau global.
© 版权声明

相关文章

id_IDIndonesian